Bab 76
Bab 76
Bab 76
Setelah Samara mengganti pakaiannya, dia pun berjalan keluar dari ruang ganti.
Begitu dia keluar, dia langsung melihat Asta dan kedua anak kecil yang juga telah berganti pakaian.
“Seperti yang diharapkan oleh tuan muda, pakaian olahragamu sangat bagus.” Oliver tersenyum lebar, berkata dengan nada bos: “Ayah, tolong foto saya bersama dengan Samara, saya akan menjadikan foto ini sebagai foto layar ponselku.”
Begitu mendengar ucapan Oliver, Olivia juga ingin mengambil foto: “Mau... mau...”
Samara masih marah dengan ciuman yang dimanfaatkan oleh Asta. Namun, dia tidak punya pilihan lain selain menuruti kedua anak kecil itu.
Selama itu adalah permintaan Oliver dan Olivia, dia akan mencoba yang terbaik untuk memenuhinya.
Oliver dan Olivia berdiri di kiri dan kanan Samara, mereka bertiga lalu berpose membentuk hati.
Asta sangat jarang memotret, bisa dihitung dengan jari berapa kali dia memotret dirinya sendiri maupun memotret orang lain.
Ketika dia mengarahkan kameranya ke arah Samara dan sepasang anak kembarnya di bawah sinar matahari, senyuman terpancar dari sinar matanya.
Mungkin topeng wajah itu bisa membuat hidung dan bibirnya menjadi jelek, namun matanya sama sekali tidak berubah.
Sepasang mata yang cerdas, lembut, sejernih air di musim gugur
Situasi yang indah, dengan sedikit sentuhan kelembutan, membuat Asta tidak bisa mengalihkan pandangannya selama beberapii wakili
Samara seperti sebuah keadaan yang menyibir, tidak ada cara untuk keluar.
hanya bisa membuatnya semakin mendekat.
Selesai memotret.
Ketika keempat orang yang berpakaian olalıraga berwarna putih itu berjalan ke tempat olahraga, mereka terlihat seperti keluarga.
Perbuatan Monica yang menyinggung Sumara tersebar dengan cepat, sekarang semua guru di taman kanak–kanak sudah tahu bahwa Sumara ini merupakan orang yang berarti di hati Asta, dan mereka pun tidak lagi berani menertawakan Samara lagi.
Namun..
Masih ada beberapa orang tua murid yang memandang Samara dengan pandangan aneh.
Samara menatap mereka kembali dengan sombong dan tidak ramah, tindakannya itu malalı membuat orang–orang itu menundukkan kepala karena merasa segan.
Oliver dan yang lainnya mendaftar untuk mengikuti lomba lari estafet campuran 4×100 untuk orang tua– anak.
Kebetulan mereka empat orang, masing–masing dari mereka akan mengambil tongkat sebanyak empat kali.
Setelah bunyi tembakan “Pull—“, Oliver mulai berlari dengan tongkatnya.
Oliver menjadi orang pertama di putaran pertama, kemudian tongkat akan beralih ke Olivia, namun ketika Oliver berlari, kakinya tersandung, dan tongkat itu pun jatuh ke tanah.
Saat Olivia mengambilnya dan berlari, mereka sudah menempati peringkat terakhir.
Mata Olivia meneteskan air mata yang berbulir seperti anggur dan menangis, namun ketika teringat masih sedang dalam perlombaan, dia pun berlari sambil menangis.
Ketika tongkat itu beralih ke tangan Samara, dia tidak langsung berlari, dia pun menghiburnya dengan lembut.
“Apakah kamu percaya padaku dan ayahmu?”
Olivia mengangguk semangat.
“Kalau begitu jangan menangis, perhatikan baik–baik bagaimana cara kita mengejar ketertinggalan.”
Selesai mengatakan hal itu, Samara pun mengambil tongkat itu dan mulai berlari menuju Asta.
Dia berlari dengan cepat sehingga dia pun berhasil menduduki peringkat kedua.
Ketika Asta mengambil tongkat itu dari Samara, dia sangat tercengang.
Wanita itu bisa berlari lebih cepat daripada pria. Ccontent © exclusive by Nô/vel(D)ra/ma.Org.
Selain karena berbakat, dia bisa membayangkan betapa keras latihan fisiknya.
Setelah pikirannya buyar, Asta tidak berani mengulur waktu, dia langsung mengambil tongkat estafet itu dan berlari menuju garis finish.
Asta berlari seperti cheetah, bagaikan angin yang berlalu, dan dia hampir melampaui orang dengan peringkat pertama dalam waktu sekejap.
Akhirnya, Asta berhasil melewati orang itu.
“Menang!” Samara memegang wajah Olivia yang tembem, lalu tersenyum: “Olivia, sudah saya katakana bahwa saya dan ayahmu bisa mengejar ketertinggalan.”
Olivia pun tersenyum dengan manis, dia benar–benar sangat menyukai Samara
Asta berjalan ke samping Samara, wajahnya yang dingin itu memerah karena selesai berolahraga.
Nafas panas pria itu menyembur krlcher Samara, sehingga jantung pun
berdetak kencang
Jika mereka terus saling terlibat seperti ini, pasti akan semakin kacau.
Samara menggigit ujung bibirnya untuk menghindari aroma dari pria itu, namun dia malah meraih pergelangan tangannya.”
“Ke mana?”
“Tidak kemana–mana.”
Dalam hati, Samara ingin mengatakan, bersembunyi darimu
“Tidak ada yang perlu dikatakan padaku?”
“Tidak.”
“Saya ada.”
“Ha?” Mata Samara membulat penasaran: “Apa yang ingin kamu katakan?”
“Hari ini, saya semakin lebih mengenal.” Asta tersenyum lebar, dan pancaran kebahagiaan di mata tajamnya: “Kamu sungguh hebat, sedangkan saya, sangat sombong.”