Bab 30
Bab 30
Bab 30
Asta menunduk dan menatapnya, dia menjawab dengan pelan.
“Tenggorokanku tidak enak.”
“Kamu kan tahu saya sedang menelpon, apa tidak bisa tahan sebentar?”
Mata dingin Asta tercengang: “Kenapa saya harus menahannya?”
“Kamu…ini bisa menyebabkan kesalahpahaman! Saya tidak pulang dan menginap dengan seorang pria, bagaimana kalau dia sampai salah paham?”
Asta menenggelamkan wajahnya dan mendekati Samara selangkah demi selangkah : “Tidak pulang semalaman dan menginap dengan seorang pria, lalu kenapa? Lagipula, kalau sampai salah paham, itu juga urusanmu sendiri.”
“Kamu….”
Samara merasa kalau dia juga bukan orang yang tidak bisa berdebat, dia sudah memaki banyak orang selama beberapa tahun silam, dan sangat jarang kalah.
Tapi kenapa saat dihadapkan dengan Asta, dia tidak bisa menang?
“Kemampuan Nona Samara untuk memberi nama panggilan buruk sekali, bisa-bisanya menamai pacarnya dengan nama seberlebihan itu.”
Detik berikutnya, Samara mengigit bibir merahnya, dalam hatinya sudah sangat ingin mencaci maki Asta si pria bajingan ini.
Pacar?
Itu adalah putranya sendiri, apa salahnya memanggil putranya dengan sebutan sayangku?
Samana awalnya ingin menjelaskan kepada Asta tentang siapa orang yang ada dibalik telepon itu, tapi setelah menatap punggung Asta dia teringat kalau Asta bukan siapa-siapanya, kenapa dia harus menjelaskan kepadanya.
Dia oleh memanggil siapa saja dengan sebutan sayangku!
Asia kembali ke kamarnya, dia memiliki kebiasaan untuk membaca beberapa dokumen sebelum
Tapi malam ini. Ian, dulan setengah jam, dokumen itu hanya dibalik satu halaman saja.
Mengetahui efisiensinya malam ini hanya sampai disini.
Pria itu melemparkan dokumennya ke meja yang ada disamping tempat tidurnya, dan tangannya memijat-mijat pelipisnya.
Wanita ini… benar-benar bukan dia?
Meskipun penampilannya sangat berbeda, aroma manis seperti herbal di tubuhnya dan sepasang mata yang cerdas dan licik tidak mungkin salah dikenali. Content property of NôvelDra/ma.Org.
Hanya memikirkan bibir mungil wanita itu, Asta merasakan cairan hangat yang mengalir dari….’adik kecilnya.’
Asta sudah mandi tadi, tapi akhirnya kembali ke kamar mandi dan mandi dengan air dingin sekali lagi.
Perasaan panas dalam dirinya, mulai sedikit mendingin setelah dialiri oleh air dingin.
Setelah mematikan keran air, Asta bergumam.
“Sayangku?”
Dia kembali teringat raut wajah kesenangan wanita itu saat menelpon tadi, dan raut wajah Asta seketika menjadi dingin, sedingin es yang sudah membeku selama puluhan ribu tahun.
Samara berbaring di kamar tamu, sambil mendengarkan suara hujan yang deras, dan perlahan tertidur.
Tengah malam, kilatan petir tiba-tiba menembus awan hitam, suara guntur yang memekakkan Liba-tiba terdengar.
Samara yang terbangun karena terkejut menatap keluar jendela dengan panik.
Tangannya mencengkram dadanya, dan nafasnya terasa berat dan cepat.
Ibunya meninggal saat hujan badai, sebelum meninggal ibunya memintanya untuk pergi ke kediaman Keluarga Wijaya untuk mencari Samantha, ibunya ingin bertemu dengan Samantha untuk terakhir kalinya.
Namun, dia berdiri didepan pintu kediaman Keluarga Wijaya dimalam hujan badai itu, dan tidak menemukan sosok Samantha sama sekali.
Pada akhirnya…
Ibunya tidak bisa bertemu Samantha untuk terakhir kalinya.
Dan karena dia yang menunggu dengan bodohnya didepan pintu rumah keluarga Wijaya, dia juga melewatkan kesempatan terakhir bersama ibunya.
Dan saat dia mendapat kabar, dia bergegas kembali ke rumah sakit, namun ibunya sudah ditutup dengan kain putih, dan sudah tidak bernyawa.
Dan sejak saat itu, setiap melihat hujan badai yang disertai petir, dia merasa kalau hatinya sedang dijerat dengan erat oleh kawat besi yang tidak terlihat, bahkan untuk bernafas juga terasa sangat sakit.
Dia meringkuk, meringkuk di sudut tempat tidur, tubuhnya gemetar tak terkendali.
Dulu saat badai, dia sebagai seorang ibu akan melindungi kedua putranya yang sedang tertidur, tapi malam ini Xavier dan Javier tidak berada di sisinya.
Apa…dia pergi ke kamar kedua anak imut itu saja?
Mungkin saja dua anak itu juga takut petir, dan mereka bisa berpelukan agar tetap hangat?
Samara langsung menuju ke kamar dua anak imut itu, tapi saat membuka pintu dia menemukan Oliver dan Olivia yang tertidur pulas, dan tidak terbangun karena suara petir.
Apakah orang yang takut pada petir hanya dia seorang?
Samara menutup kembali pintu kamar, dan hendak kembali ke kamarnya, namun petir kembali menyambar dan membuatnya menutup telinga dan berjongkok dengan panik.
Rasa sakit yang menusuk hati membuat matanya dipenuhi aura kosong dan kesedihan.
Tiba-tiba-==
Sepasang kaki panjang dan ramping muncul dihadapan Samara.
Dia melirik dari sandalnya, lalu betisnya, pahanya, pinggangnya, dadanya, lalu terakhir, wajah lampannya yang tidak tertandingi.
“Nona Samara, apa yang sedang kamu lakukan disini?”